Masyarakat laksana air yang ada dalam gelas. Ketika gelas berisi air kotor, maka agar kita dapat menikmati air bersih, mestilah airnya diubah; bukan dengan memecahkan gelasnya, melainkan dengan mengganti airnya. Buang air yang kotor, lalu diganti dengan air yang bersih. Begitu juga ketika melakukan perubahan masyarakat.
Mengubah masyarakat bukanlah menghancurkan masyarakat, melainkan mengganti sistem kehidupan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Pada zaman Nabi saw., rumah, pasar, maupun kebun pada masa Jahiliah sama dengan pada saat Islam diterapkan. Bahkan, orangnya pun tidak berbeza. Misalnya, Omar pada masa Jahiliah sama dengan Omar pada masa Islam, Abu Sufyan pada masa Jahiliah sama dengan dan tetaplah dirinya setelah memluk Islam. Yang berbeza hanyalah keyakinan dan tolok ukur kehidupannya. Berbagai suku di Jazirah Arab pada masa Islam sama dengan suku-suku pada waktu Islam masih lemah.
Bezanya, aturan yang diberlakukan pada berbagai suku dan bangsa tersebut pada masa Jahiliah adalah aturan buatan logika dan nafsu manusia, sedangkan pada saat Islam kuat mereka dihukumi oleh aturan Islam. Karena itu, mengubah masyarakat berarti mengubah isinya, iaini mengubah kepribadian anggota masyarakat, pemikiran masyarakat (baik terkait dengan akidah maupun syariat), perasaan masyarakat, dan sistem (nizhâm) yang mengatur berbagai interaksi sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat.
Pada saat perubahan masyarakat dimaknai sebagai perubahan seperti itu, maka yang harus diubah adalah pemikiran, perasaan, dan sistem masyarakat. Dulu, Nabi saw. dan para sahabat melakukan hal ini. Misalnya, masyarakat Arab yang tadinya meyakini Tuhan itu banyak diubah menjadi meyakini hanya satu Tuhan (tauhid); yang tadinya merasa bahagia ketika berhasil membunuh bayi perempuan diubah menjadi merasa berdosa ketika melakukan perbuatan tersebut; yang tadinya memaklumi adat mengurangi timbangan saat berjual-beli diubah menjadi meninggalkannya; ikatan kekabilahan kesukuann (ashobiyah) yang selama ini menjadi pengikat masyarakat diubah menjadi ikatan ideologi Islam; berbagai hukum buatan manusia yang diberlakukan di tengah-tengah mereka diganti dengan hukum Allah Swt.
Setelah semua ini berhasil, maka sistem lama dikalahkan oleh sistem yang baru. Jadilah sistem kehidupan Jahiliah berganti dengan sistem kehidupan Islam. Pemerintahan Islam berhasil didirikan di Madinah al-Munawwarah. Hukum Islam juga diterapkan secara total disana.
Perubahan dari masyarakat Jahiliah menjadi masyarakat Islam seperti ini menescayakan terwujudnya dua hal, yaitu:
1. Pembentukan public opinion yang didasari oleh iman pada Islam serta kesedaran kolektif atas wajibnya terikat dengan Islam; menerapkannya, mewujudkan negara yang menerapkannya, serta melindungnya.
2. Pewujudan kekuatan atau kekuasaan yang mampu menerapkan Islam, melindungi penerapannya, dan memungkinkannya untuk menyebarkan dakwah ke seluruh dunia.
Kedua hal tersebut merupakan fokus perjuangan Islam; merupakan fokus pertarungan dengan kekufuran, sistemnya, dan para penjaganya; juga merupakan penciptaan kesedaran kolektif, penerapan Islam, serta persiapan untuk menegakkannya. Tidak mungkin melakukan perubahan masyarakat kapitalis menjadi masyarakat Islam atau perubahan masyarakat Jahiliah apapun menjadi masyarakat Islam sebelum terwujud pandangan tentang itu sekaligus kehendak memperjuangkan dan mendukungnya. Mewujudkan semua itu menescayakan adanya pergolakan pemikiran (ash-shirâ' al-fikrî) dan perjuangan politik (al-kifâh as-siyâsî), bukan perjuangan fizik dan kekerasan. Sebab, kekuatan fizik akan menghasilkan penghancuran masyarakat, sedangkan pergolakan pemikiran dan perjuangan politik akan melahirkan perubahan masyarakat yang diinginkan.
Dari sini dapat dipahami betapa hebat langkah Rasulullah saw. yang menjadikan perjuangan dakwahnya tanpa kekerasan sebagai metode untuk mengubah masyarakat. Perjuangan atas dasar pergolakan pemikiran dan perjuangan politik itulah yang merupakan hakikat dakwah tanpa kekerasan.
Saat Islam telah memiliki kekuatan politik berupa pemerintahan, maka persoalan perubahan masyarakat dari Jahiliah menjadi masyarakat Islam telah selesai. Sebab, kini sudah terbentuk masyarakat Islam. Fasa berikutnya adalah menerapkan Islam. Pada fasa ini berbagai hambatan fizik menghadang. Untuk menghancurkan hambatan fizik tersebut diperlukan kekuatan fizik yang seimbang bahkan lebih besar. Di situlah perjuangan fizik diperlukan melalui jihad; bukan untuk mengubah masyarakat dan bukan pula dalam konteks perubahan masyarakat, melainkan untuk menghilangkan dan merobohkan berbagai hambatan fizik yang berupaya menghalang-halangi tegaknya sistem Islam, bahkan menghancurkannya.
Dalam kerangka itulah dapat dipahami, mengapa setelah memiliki negara di Madinah, Rasulullah saw. bukan hanya melakukan pergolakan pemikiran dan perjuangan politik, melainkan juga diizinkan bahkan diperintahkan menggunakan senjata, iaini berjihad.
Perubahan Masyarakat Tak Boleh dengan Kekerasan
Rasulullah saw. diutus untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan Jahiliah menuju cahaya Islam. Ketika itu beliau hidup di tengah-tengah masyarakat yang diatur oleh hukum kufur dan keamanannya ada pada tangan kaum kafir. Beliau dan para sahabatnya hidup di darul kufur. Metode perjuangan Nabi saw. dalam mengubah masyarakat saat itu menjadi masyarakat Islam di Madinah amatlah jelas. Beliau melakukannya dengan pertarungan pemikiran dan perjuangan politik sekaligus mensterilkan perjuangannya itu dari kekerasan fizik dan angkat senjata.
Apakah karena tidak ada tantangan bersifat fizik? Bukan.
Bagaimanapun beratnya seksaan kaum kafir terhadap para sahabatnya, betapapun jumudnya masyarakat terhadap dakwah yang beliau serukan, dan walaupun kadangkala sebagian sahabat menghendaki penggunaan kekuatan fizik, tetap saja hingga menjelang tegaknya pemerintahan Islam di Madinah beliau tidak melakukan tindakan kekerasan/angkat senjata/menumbuk atau sebagainya. Hal itu bukan karena tidak bisa, tidak mampu, ataupun tidak mau, melainkan karena Allah Swt. melarangnya. Nabi saw. tidak melakukannya karena saat itu memang belum Allah Swt. perintahkan.
Mengubah masyarakat bukanlah menghancurkan masyarakat, melainkan mengganti sistem kehidupan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Pada zaman Nabi saw., rumah, pasar, maupun kebun pada masa Jahiliah sama dengan pada saat Islam diterapkan. Bahkan, orangnya pun tidak berbeza. Misalnya, Omar pada masa Jahiliah sama dengan Omar pada masa Islam, Abu Sufyan pada masa Jahiliah sama dengan dan tetaplah dirinya setelah memluk Islam. Yang berbeza hanyalah keyakinan dan tolok ukur kehidupannya. Berbagai suku di Jazirah Arab pada masa Islam sama dengan suku-suku pada waktu Islam masih lemah.
Bezanya, aturan yang diberlakukan pada berbagai suku dan bangsa tersebut pada masa Jahiliah adalah aturan buatan logika dan nafsu manusia, sedangkan pada saat Islam kuat mereka dihukumi oleh aturan Islam. Karena itu, mengubah masyarakat berarti mengubah isinya, iaini mengubah kepribadian anggota masyarakat, pemikiran masyarakat (baik terkait dengan akidah maupun syariat), perasaan masyarakat, dan sistem (nizhâm) yang mengatur berbagai interaksi sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat.
Pada saat perubahan masyarakat dimaknai sebagai perubahan seperti itu, maka yang harus diubah adalah pemikiran, perasaan, dan sistem masyarakat. Dulu, Nabi saw. dan para sahabat melakukan hal ini. Misalnya, masyarakat Arab yang tadinya meyakini Tuhan itu banyak diubah menjadi meyakini hanya satu Tuhan (tauhid); yang tadinya merasa bahagia ketika berhasil membunuh bayi perempuan diubah menjadi merasa berdosa ketika melakukan perbuatan tersebut; yang tadinya memaklumi adat mengurangi timbangan saat berjual-beli diubah menjadi meninggalkannya; ikatan kekabilahan kesukuann (ashobiyah) yang selama ini menjadi pengikat masyarakat diubah menjadi ikatan ideologi Islam; berbagai hukum buatan manusia yang diberlakukan di tengah-tengah mereka diganti dengan hukum Allah Swt.
Setelah semua ini berhasil, maka sistem lama dikalahkan oleh sistem yang baru. Jadilah sistem kehidupan Jahiliah berganti dengan sistem kehidupan Islam. Pemerintahan Islam berhasil didirikan di Madinah al-Munawwarah. Hukum Islam juga diterapkan secara total disana.
Perubahan dari masyarakat Jahiliah menjadi masyarakat Islam seperti ini menescayakan terwujudnya dua hal, yaitu:
1. Pembentukan public opinion yang didasari oleh iman pada Islam serta kesedaran kolektif atas wajibnya terikat dengan Islam; menerapkannya, mewujudkan negara yang menerapkannya, serta melindungnya.
2. Pewujudan kekuatan atau kekuasaan yang mampu menerapkan Islam, melindungi penerapannya, dan memungkinkannya untuk menyebarkan dakwah ke seluruh dunia.
Kedua hal tersebut merupakan fokus perjuangan Islam; merupakan fokus pertarungan dengan kekufuran, sistemnya, dan para penjaganya; juga merupakan penciptaan kesedaran kolektif, penerapan Islam, serta persiapan untuk menegakkannya. Tidak mungkin melakukan perubahan masyarakat kapitalis menjadi masyarakat Islam atau perubahan masyarakat Jahiliah apapun menjadi masyarakat Islam sebelum terwujud pandangan tentang itu sekaligus kehendak memperjuangkan dan mendukungnya. Mewujudkan semua itu menescayakan adanya pergolakan pemikiran (ash-shirâ' al-fikrî) dan perjuangan politik (al-kifâh as-siyâsî), bukan perjuangan fizik dan kekerasan. Sebab, kekuatan fizik akan menghasilkan penghancuran masyarakat, sedangkan pergolakan pemikiran dan perjuangan politik akan melahirkan perubahan masyarakat yang diinginkan.
Dari sini dapat dipahami betapa hebat langkah Rasulullah saw. yang menjadikan perjuangan dakwahnya tanpa kekerasan sebagai metode untuk mengubah masyarakat. Perjuangan atas dasar pergolakan pemikiran dan perjuangan politik itulah yang merupakan hakikat dakwah tanpa kekerasan.
Saat Islam telah memiliki kekuatan politik berupa pemerintahan, maka persoalan perubahan masyarakat dari Jahiliah menjadi masyarakat Islam telah selesai. Sebab, kini sudah terbentuk masyarakat Islam. Fasa berikutnya adalah menerapkan Islam. Pada fasa ini berbagai hambatan fizik menghadang. Untuk menghancurkan hambatan fizik tersebut diperlukan kekuatan fizik yang seimbang bahkan lebih besar. Di situlah perjuangan fizik diperlukan melalui jihad; bukan untuk mengubah masyarakat dan bukan pula dalam konteks perubahan masyarakat, melainkan untuk menghilangkan dan merobohkan berbagai hambatan fizik yang berupaya menghalang-halangi tegaknya sistem Islam, bahkan menghancurkannya.
Dalam kerangka itulah dapat dipahami, mengapa setelah memiliki negara di Madinah, Rasulullah saw. bukan hanya melakukan pergolakan pemikiran dan perjuangan politik, melainkan juga diizinkan bahkan diperintahkan menggunakan senjata, iaini berjihad.
Perubahan Masyarakat Tak Boleh dengan Kekerasan
Rasulullah saw. diutus untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan Jahiliah menuju cahaya Islam. Ketika itu beliau hidup di tengah-tengah masyarakat yang diatur oleh hukum kufur dan keamanannya ada pada tangan kaum kafir. Beliau dan para sahabatnya hidup di darul kufur. Metode perjuangan Nabi saw. dalam mengubah masyarakat saat itu menjadi masyarakat Islam di Madinah amatlah jelas. Beliau melakukannya dengan pertarungan pemikiran dan perjuangan politik sekaligus mensterilkan perjuangannya itu dari kekerasan fizik dan angkat senjata.
Apakah karena tidak ada tantangan bersifat fizik? Bukan.
Bagaimanapun beratnya seksaan kaum kafir terhadap para sahabatnya, betapapun jumudnya masyarakat terhadap dakwah yang beliau serukan, dan walaupun kadangkala sebagian sahabat menghendaki penggunaan kekuatan fizik, tetap saja hingga menjelang tegaknya pemerintahan Islam di Madinah beliau tidak melakukan tindakan kekerasan/angkat senjata/menumbuk atau sebagainya. Hal itu bukan karena tidak bisa, tidak mampu, ataupun tidak mau, melainkan karena Allah Swt. melarangnya. Nabi saw. tidak melakukannya karena saat itu memang belum Allah Swt. perintahkan.